Keluarga
KH. Ibrahim dilahirkan di kampung
Kauman Yogyakarta pada tanggal 7 Mei 1874. Ia adalah putra dari KH. Fadlil
Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Negeri Kesultanan Yogyakarta pada zaman
Sultan Hamengkubuwono ke VII (Soedja`. 1933: 227), dan ia merupakan adik
kandung Nyai Ahmad Dahlan.
Ibrahim menikah dengan Siti
Moechidah binti Abdulrahman alias Djojotaruno (Soeja`. 1933:228) pada tahun
1904. Pernikahannya dengan Siti Moechidah ini tidak berlangsung lama, karena
istrinya wafat. KH. Ibrahim kemudian menikah dengan Moesinah, putri bungsu dari
KH. Abdulrahman dan adik kandung dari Siti Moechidah. Moesinah berusia cukup
panjang yaitu sampai 108 tahun, dan meninggal pada 9 September 1998.
KH. Ibrahim wafat dalam usia yang masih
sangat muda, 46 tahun, pada awal tahun 1934 setelah menderita sakit agak lama.
Pendidikan
Masa kecil Ibrahim dilalui dalam
asuhan orang tuanya dengan diajarkan mengkaji al-Qur'an sejak usia 5 tahun. Ia
juga dibimbing memperdalam ilmu agama oleh kakak tertuanya sendiri, yaitu KH.
M. Nur. Ia menunaikan ibadah haji pada usia 17 tahun, dan dilanjutkan pula
menuntut ilmu di Mekkah selama lebih kurang 7-8 tahun. Pada tahun 1902, ia
pulang ke tanah air karena ayahnya sudah lanjut usia.
Memimpin Muhammadiyah
Setibanya di tanah air dari
menuntut ilmu di Mekkah, KH. Ibrahim mendapat sambutan yang baik dari
masyarakat, dan banyak orang mengaji kepadanya. Pengajian yang diasuh KH.
Ibrahim memakai metode sorogan dan weton. Sorogan adalah mengaji dengan diajar
satu per satu, terutama untuk anak-anak muda yang ada di Kauman pada saat itu;
sedangkan weton adalah kyai membaca sedang santri-santrinya mendengarkan dengan
memegang kitabnya masing-masing. Pengajian dilaksanakan setiap hari, kecuali
hari Jum`at dan Selasa. Dalam menerapkan dua macam metode tersebut dipakai
waktu yang berbeda, yaitu pada pagi hari mulai pukul 07.00 sampai 09.00 dengan
cara sorogan, dan pada sore hari sesudah ashar sampai kurang lebih pukul 17.00
dengan cara weton.
Sebelum KH. Ahmad Dahlan wafat,
ia berpesan agar kepemimpinan Muhamadiyah sepeninggalnya diserahkan kepada Kiai
Haji Ibrahim. Mula-mula KH. Ibrahim menyatakan tidak sanggup, atas desakan
sahabat-sahabatnya akhirnya ia bersedia menerimanya. Kepemimpinannya dalam
Muhammadiyah dikukuhkan pada bulan Maret 1923 dalam Rapat Tahunan Anggota
Muhammadiyah sebagai Voorzitter Hoofdbestuur Moehammadijah Hindia Timur
(Soedja`, 1933: 232).
KH Ibrahim termasuk seorang yang
cerdas, luas wawasannya, dalam ilmunya dan disegani. Ia adalah seorang
penghafal (hafidh) al-Quran dan ahli qira'ah (seni baca Al-Quran), serta mahir
berbahasa Arab. Sebagai seorang Jawa, ia sangat dikagumi oleh banyak orang
karena keahlian dan kefasihannya dalam penghafalan Al-Qur'an dan bahasa Arab.
Pernah orang begitu kagum dan takjub, ketika dalam pidato pembukaan (khutbah
al-'arsy atau sekarang disebut khutbah iftitah) Kongres Muhammadiyah ke-19 di
Bukit Tingi Sumatera Barat pada tahun 1939, ia menyampaikan dalam bahasa Arab
yang fasih.
Semenjak kepemimpinan KH. Ibrahim,
Muhammadiyah berkembang di seluruh Indonesia, dan terutama tersebar di berbagai
tempat Jawa dan Madura. Kongres-kongres mulai diselenggarakan di luar kota
Yogyakarta, seperti Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, Kongres
Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan, Kongres Muhammadiyah ke-17 di Solo, Kongres
Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi, Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar, dan
Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang pada tahun 1933 (Kongres Muhammadiyah
terakhir dalam periode kepemimpinan KH. Ibrahim). Dengan berpindah-pindahnya
tempat kongres tersebut, maka Muhammadiyah mengalami perkembangan yang sangat
pesat, bahkan cabang-cabang Muhammadiyah telah berdiri hampir di seluruh tanah
air di bawah kepemimpinannya.
KH. Ibrahim juga memimpin kaum ibu
Muhammadiyah agar rajin beramal dan beribadah melalui sebuah perkumpulan yang
diberi nama Adz-Dzakiraat (Soedja`, 1933: 136). Perkumpulan Adz-Dzakiraat ini
banyak memberikan jasa kepada Muhammadiyah dan `Aisyiyah, misalnya banyak
membantu pencarian dana untuk Kas Muhammadiyah, `Aisyiyah, PKU, Bagian Tabligh,
dan bagian Taman Poestaka.
Peristiwa
penting
Menurut catatan AR Fachruddin (1991),
pada masa kepemimpinan KH. Ibrahim, kegiatan-kegiatan yang dapat dikatakan
menonjol, penting dan patut dicatat adalah:
§ Pada tahun 1924, Ibrahim mendirikan Fonds Dachlan yang
bertujuan membiayai sekolah untuk anak-anak miskin. Pada tahun 1925, ia juga
mengadakan khitanan massal. Di samping itu, ia juga mengadakan perbaikan badan
perkawinan untuk menjodohkan putra-putri keluarga Muhammadiyah. Dakwah
Muhammadiyah juga secara gencar disebarluaskan ke luar Jawa (AR Fachruddin,
1991).
§ Pada periode kepemimpinan Ibrahim, Muhammadiyah sejak tahun
1928 mengirim putra-putri lulusan sekolah-sekolah Muhammadiyah (Mu`allimin,
Mu`allimat, Tabligh School, Normaalschool) ke seluruh pelosok tanah air, yang
kemudian di kenal dengan 'anak panah Muhammadiyah' (AR Fachruddin, 1991).
§ Pada Kongres Muhammadiyah di Solo pada tahun 1929, yaitu
pada masa kepemimpinannya, Muhammadiyah mendirikan Uitgeefster My, yaitu badan
usaha penerbit buku-buku sekolah Muhammadiyah yang bernanung di bawah Majelis
Taman Pustaka. Pada waktu itu pula terjadi penurunan gambar Ahmad Dahlan karena
pada saat itu ada gejala mengkultuskan beliau. Sementara dalam Kongres
Muhammadiyah ke-21 di Makasar pada tahun 1932 memutuskan supaya Muhammadiyah
menerbitkan surat kabar (dagblaad). Untuk pelaksanaannya diserahkan kepada
Pengurus Muhammadiyah Cabang Solo, yang di kemudian hari dinamakan Adil.
§ KH. Ibrahim selalu terpilih kembali sebagai ketua dalam
dalam sepuluh kali Kongres Muhammadiyah selama periode kepemimpinannya. Ia
lebih banyak memberikan kebebasan gerak bagi angkatan muda untuk
mengekspresikan aktivitasnya dalam gerakan dakwah Muhammadiyah. Di samping itu,
ia juga berhasil dalam membimbing gerakan Aisyiyah untuk semakin maju, tertib,
dan kuat. Ia juga berhasil dalam meningkatkan kualitas takmirul masajid
(pengelolaan masjid-masjid), serta berhasil pula dalam mendorong berdirinya
Koperasi Adz-Dzakirat.
§ Dalam masa kepemimpinannya, Muhammadiyah pernah mengalami
fitnah dari pihak-pihak yang tidak suka akan kemajuan Muhammadiyah.
Muhammadiyah dan pengurus besarnya dianggap sebagai kaki tangan Politieke
Economische Bond (PEB), sebuah organisasi yang dibentuk oleh persatuan pabrik
gula yang dimiliki Belanda. Tujun PEB ialah untuk mengatur koordinasi dan
kerjasama antar-pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam produksi,
pemasaran, dan juga dalam aspek sosial-budaya yang ada hubungannya dengan
politik-ekonomi pabrik gula. PEB mendirikan perkumpulan dengan nama Jam'iyatul
Hasanah yang bertujuan untuk menghimpun guru-guru agama dan membiayai mereka
untuk mengajarkan agama Islam kepada buruh-buruh di pabrik gula. Dengan
demikian, fitnahan terhadap Pengurus Besar Muhammadiyah semakin besar karena
Pengurus Besar Muhammadiyah dianggap telah bekerjasama dan menerima dana dari
PEB yang merupakan kaki-tangan Belanda. Namun fitnahan tersebut bisa diatasi
dengan keterbukaan dalam kepemimpinan KH. Ibrahim dengan mengundang para utusan
dari cabang-cabang Muhammadiyah untuk memeriksa keuangan dan notulensi rapat di
Pengurus Besar Muhammadiyah di Yogyakarta, dan terbukti bahwa fitnahan tersebut
tidak benar.
§ Pada periode kepemimpinan KH. Ibrahim telah diselenggarakan
sepuluh kali Rapat Tahunan Muhammadiyah yang terus-menerus memilihnya sebagai
Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Mulai tahun 1926, istilah Rapat Tahunan
Muhammadiyah diganti menjadi Kongres Muhammadiyah yang bertempat di Surabaya
sebagai Kongres Muhammadiyah ke-5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar